Gara-Gara Rok Olahraga
Cerita ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi. Apabila terdapat kesamaan nama tokoh, setting, dll, InsyaAllah itu adalah benar adanya.~
.
Sudah lama, tapi air mata itu masih sering terasa hangat di pipi. Eaaaa...lebay!
Sebuah jumat pagi. Di salah satu sekolah negeri di Ngawi, Jawa Timur. Segerombol siswa-siswi kelas 11 bersiap mengikuti pelajaran Olahraga. Kaos panjang, training panjang. Laki-laki dan perempuan, tanpa kecuali. Semua berbondong menuju lapangan. Sama rata. Kecuali aku. Yang sedari kemarin hingga detik itu berdegup kencang hatinya untuk memantabkan pilihan. #tsaaaah
Berkali-kali menenangkan diri sendiri, "Gapapa, gapapa. Gapapa."
Dan tibalah kami semua di lapangan. Seperti biasa, Pak Guru memberi sinyal untuk pemanasan.
"Priiit... priiiiit....lari 3 putaran!"
Tsaaah, larilah kami semua. Putaran pertama, aman. Hati tenang bukan main, "Alhamdulillah, gapapa pake rok." Sambil senyum senyum sendiri.
Pak guru memantau di tepi lapangan. Aku berlari kecil menuju melewati. Beliau melihatku. Deg!
"Kamu, sini sini!" Melambaikan tangannya padaku.
"Muatiiih" hentakku dalam hati. Aku berbalik arah, menuju beliau.
"Heh celana training kamu mana?" tanyanya garang.
"Ada Pak?" jawabku pelan.
"Kenapa ga dipake?" nada beliau meninggi.
"Saya pake kok Pak, di dalem rok."
"Ya maksudnya kenapa ga dipake seperti biasanya?!" beliau mulai kesal.
"Saya mau olahraga pake rok Pak."
"Kenapa?" Tatapannya garang.
Aku tertunduk dengan irama sirkadian jantung yang melompat-lompat. #4Lay
"Em... e.. Eeemmm. ..karna ya saya harus seperti ini Pak.."
"Alasan Agama?"
Aku mengangguk.
Kalau aku ga salah redaksi (semoga), beliau lalu berkata begini,
"Saya juga ngaji, tapi sepemahaman saya anak perempuan gapapa tu pake celana olahraga. Dan ini kan aturan sekolah. Kalo kamu ga patuh namanya melanggar. Harus bilang dulu ke kepala sekolah."
Aku memetik perkataan beliau, mengomel dalam hati, "perempuan gapapa tu pake celana olahraga". Haa? Hellaaaawww? Gapapa? Anak perempuan yang mana? Islam? Islam memerintahkan kepada perempuan yg sudah baligh untuk tidak berpakaian menyerupai laki-laki. Ini training jelas-jelas ngepas ukurannya, keliatan lekuk kakinya. Dibilang gapapa?" Tapi ini mah cuma protes dalam hati. Yaiyalah, bisa ditempeleng kalau berani jawab begini.
Beliau menatapku dalam-dalam. #ciyeee
Lalu bicara lagi, "Kamu ke kepala sekolah sekarang, ijin kalo mau pake rok setiap olahraga. Kalo kepala sekolah mengijinkan, kamu baru boleh ikut olahraga."
Aku tak berani mendongak. Tanpa sadar, semua mata tertuju padaku. Serasa Miss Indonesia. Eaaa... -___________-
Mereka ga tau aja, hatiku berkecamuk atas kata-kata itu. Takut, sedih, cemas, campur sari nyai ronggeng dukuh paruk. Tapi yaaa mau gimana, sudah sampai sejauh ini. Akhirnya dengan sok berani aku menemui kepala sekolah. Mengetuk pintu dengan lembut. Masuk.
Duduklah seorang akhi berpeci yang usianya lebih tua dibanding Bapakku sendiri. Bersama senyumnya yang manis, mirip Sandiaga Uno lah ya, halah, Kepala Sekolah menyambut.
"Iya nak ada apa?"
Aku senyum kaku, "Maaf Pak, mengganggu waktunya."
"Iyaa..." beliau senyum manis lagi.Aku menata hatiku. Tapi di tenggorokan ini rasanya ada batu. Gedeee banget. Nggondog. Sampe susah nelen liur sendiri.
"E.. Anu pak.. saya mau ijin, Pak." kataku terbata-bata.
"Iya, ijin apa? Pulang? Kamu sakit?" Baiklah mungkin mukaku sudah pucat tak karuan kala itu.
"Eh, engga Pak. Bukan." aku sedikit tenang.
"Saya mau ijin Pak untuk.. untuk pake rok setiap jam olahraga."
"Alasannya?" Kali ini air mukanya tampak berubah. Tanpa senyum semanis Sandiaga Uno.
"Agama Pak."
Jengjeeeeng... (backsound sinetron pas keluar tokoh jahat wkwk)
Dimulailah pidato Kepala Sekolah yang panjang, lebar, tinggi, tiga dimensi dengan pembuktian logaritma. Wkwk. Yang intinya kalo kuambil kesimpulan di setiap kalimatnya, mengisyaratkan bahwa, "Perempuan pake celana itu NGGAK PAPA". Beliau pun cerita tentang anaknya di pondok pesantren ternama. Disana juga sama katanya. Olahraga, memakai celana. Di tengah pidatonya, Pak Guru olahraga datang.
Dengan raut wajah yang tak nyaman, beliau bertanya, "Pripun Pak?" (Gimana Pak?)
Kepala Sekolah menatapku, "Kamu ngaji sama siapa?"
"Sama guru ngaji Pak" Jawabku tanpa dosa. Yaiyalah masa sama guru silat?-,-
"Iya saya tahu, namanya siapa?"
"Mbak *tiiiit..."
"Ngaji dimana?" "Kapan aja?"....teruus bertanya tentang aktivitas rohaniku. Lalu beliau mengambil daftar nama siswa.
"Nama lengkap kamu siapa?"
Wadaw nanya nama lengkap mau diapain nih Pak. Suaraku mulai serak-serang banjir bandang.
"Nuri Septika Witdyawati, Pak" ujungnya lirih.
Beliau melingkari namaku (Haha, kutandai kau! Mungkin begitu). Mukaku sudah pucat tak karuan, resah, gelisah, bibir pecah-pecah. #Apaasiih
"Pak, jangan ditandain Pak. Pak..." aku memelas, mataku nanar. Mulai berkaca-kaca.
"Jadi begini, peraturan sekolah harus dipatuhi. Kalau saya mengijinkan kamu pakai rok setiap olahraga, takutnya banyak anak yang nanti melanggar peraturan yang lain. Jadi, nanti kita bicarakan dulu, dengan guru agama, dan orang tua kamu."
"Haaa? Orang tuaaa?" Mendengar pernyataan itu, aku sesenggukan tak karuan. Nangis memalukan. Batu di tenggorokan tadi semakin besar, bagaikan bola salju, bergulir gulir, smakin besaaar.
"Ja..ja.. jangan panggil o.. orang tua, Paaak... hu u uu... higs... Huuu hu hu higs higs" tergagap-gagap lanjut nangis makin kencang.
"Hu uu.. uu... higs... higs... Jaa.. Jaang.. Ngan..." air mata udah kayak jet pump, deres. Mana pake cegukan segala. Ditambah sedikit ingusan. Sesekali kuusap hidungku yang meler.Sempurnalah sudah."
"Iya, iya, enggak-enggak." Beliau mulai kasihan. "Nanti saya bicarakan dulu dengan Pak Anu dan Pak anu lainnya. Sekarang kamu boleh kembali ikut olahraga."
Tanpa berterima kasih, aku segera sa'i meninggalkan ruang itu.
Ku berjalan cepat menuju lapangan volly. Dan masih hazeg-hazegen. Apa bahasa Indonesia nya hazeg -hazegen? Masih sesenggukan sambil pundak naik turun. Teman-temanku memandangi. Serasa Miss Indonesia lagi. Wkwkwk. Beberapa mendekat, mengelus pundak, menenangkan. Seorang nyeletuk, "Kalo mau nerapin Islam tu tau tempat. Pilih-pilih..!" Dengan nada yang sinis. Aku mau nyanggah, tapi apa daya, masih sesenggukan. Tak mampu berkata-kata. Daripada ingusku keluar lagi kaaan...
~
Lalu jumat panas itu berlalu. Aku melanjutkan hidupku. Jumat berikutnya aku lupa pake rok atau celana pas olahraga. Tapi, tapi amazingnya, sekitar sebulan kemudian, Pak Guru meminta aku menemui beliau. Wadaw, deg-degan lagi bukan main. Sepanjang perjalanan aku berdzikir. Ya Allah.. Ya Allah.. Jangan-jangan aku mau dikeluarin dari sekolah. Gamau Ya Allaaah...
Dan apakah yang dikatakan Pak guru olahraga???
"Nuri, kamu data, siapa aja yang mau pake rok olahraga. Nanti Bapak buatkan rok olahraga resmi dari sekolah."
"Haaa? Whaat..? Jinjaa...? Demi apaaaa? Sayavga mimpi?" kagetnya dalam hati sih, ga lebay gitu di depan beliau. Cuma bilang "Iya Pak, terimakasih banyak"
Singkat cerita, abis tragegi nangis-nangis memperjuangkan rok olahraga itu, sekolah mengijinkan siswa perempuan pake rok saat olahraga. Justru roknya disediakan dari sekolah walaupun tetep aja bayar lagi. Dan sepeninggalku dari sekolah itu, adek2 kelas yang mau pake rok saat olahraga, bisa bebas, tanpa perlu nangis dulu sesenggukan, cegukan, dan ingusan di depan Kepala Sekolah. Dan, cerita pun selesai...
Kisah ditulis dalam rangka memperingati Hari Tutup Aurat sedunia. Karna kalo punya prinsip, diperjuangkan, bukan ngalah sama aturan. Apalagi aturan manusia, banyak salahnya. Betewe, aku harusnya lebih heroik dan berani waktu itu. Tapi, yasudahlaah...
Sekian dan terimakasih...
Komentar
Posting Komentar