Maaf, Calon Istrimu Kuli #2
Itu ceritanya
pertanyaan-pertanyaan untuk mempertegas diri sendiri, bahwa pilihan untuk
menjadi mandiri ya memang tepat dan bahkan cenderung telat saya sadari.
Perempuan itu ga boleh banget menye-menye, manja, lemah, loyo, letih, lesu,
lunglai, lemot. Duuuh yang kayak begitu mah kelaut aja! Pasti akan terbawa arus
dan pada akhirnya tidak bisa membangun peradaban bangsa yang luar biasa. Padahal
ada tugas besar nan mulia yang sedang menanti perempuan pada masanya. Dia akan
menjadi panglima perang dalam pasukan tempur peradaban yang bernama keluarga. Gimana
prajuritnya akan perkasa kalau panglimanya loyo, gampang terkapar, dan manja?
Menyambung cerita “Maaf
, Calon Istrimu Kuli” yang Alhamdulillah banyak readernya (melampaui pembaca “Udah
Biarin Aja!” yeayyy!!!π), mau cerita sedikit mengenai ikhtiar meng-kuli-kan diri
selanjutnya. Hehe…
πππ
Yaps, sebelum pada
akhirnya saya bosan menjadi guru privat (bosan dengan lelahnya perjalanan,
bukan lelahnya mengajar yaaw), saya coba merintis usaha hijab kembali. Kenapa kok
merintis kembali? Karena sebenarnya saya sudah mulai jualan kerudung sejak SMA,
lanjut saat tingkat pertama di IPB, hit and run sampai semester 7 sekarang. Dan
alasan sederhana kenapa hit and run adalah karna masih produksi sendiri. Maksudnya
jahit kerudungnya sendiri, saya sendiri. Makanya capek. Wkwkwk…padahal ga lucu juga saya ketawa ajaππ
Pertengahan Oktober,
tepatnya tanggal 17 (sengaja biar sama kaya tanggal ulang tahun, hehe), saya launching re-born usaha hijab. Namanya Nuree.id yang sebelumnya adalah Hijab Nuree. Ayo yang belum follow
instegreem-nyah, follow @nuree.id yaa sista. Wkwk. Punya modal
awal dari tabungan dan minjem orangtua, saya dan partner (bukan partner hidup
yak), belanja hijab di Pasar Tanah Abang. Kita berangkat dari kos sampe stasiun
Bogor naik motor. Lepasnya, dari stasiun Bogor sampai Tanah Abang kita naik
KRL. Sampai sana, ga tau arah, muter-muter pasar yang luasnya kira-kira satu RW
(lebih mungkin π), buat cari toko kain. Naik turun tangga, menyelinap diantara
badan buibu yang dempal, menyusuri blok satu dan blok lain, keringetan, puyeng
sama bau kali, dan laper. Sampai tibalah kita di blok yang entah apa namanya
lupa, khusus menjual kain grosir. Beli semua bahan-bahan ga pake hitung panjang
kali lebar, pokoknya kalau pas ditotal ternyata modal kita masih ada, kita nambah
lagi beli kainya. Hahaha… Gitu terus sampai lanjut pindah ke toko lain untuk
cari jenis kain yang beda. Singkat cerita modal kita udah habis dan ga sadar
belanjaan kita udah mengunung. Tiga kresek buesar. Bukan cuma besar ya, tapi
buuueeesar! Satu kresek dibawa sendiri aja keberatan. Mmmm….πππ
Kita berdua melongo,
saling menatap. “Gimana mau bawa ini
semua coba?” tanya saya.
“Panggul!”
jawab teman saya.
“Gila!”
sanggah saya. Sebenarnya bisa saja dipanggul satu satu, tapi jarak kios kain
dan stasiun yang kayak satu RW itu jauh banget pake panas pula. Belum lagi
berdesak-desakan dan risiko kena jambret sangat besar. Berbahaya.
Akhirnya karena untuk
memanggul semua belanjaan itu sangat sangatlah impossible buat kita, berbekal informasi dari bapak pembuat kancing
yang baik hati, kita minta jasa kuli panggul saja. Semua belanjaan diikat dan
dibawa oleh bapak-bapak seumuran Pak Puh saya tepat sampai depan gate stasiun. Setelah masuk gate kepalang lah kita bagaimana membawa
belanjaan yang sudah digabung menjadi dua kantong hitam buesar itu. Beruntung jalan
menuju peron adalah turunan tangga. Saya dorong satu kantong sampai tepi, setelah
itu saya gelindingkan dari atas tangga. Dengan tanpa berdosa, saya meneriaki
seorang Bapak yang sedang duduk di ujung bawah anak tangga. “Bapak, maaf Pak ada barang numpang lewat Pak!” Sambil
melempar senyum ceria.π Sang Bapak menengok ke belakang lalu berdiri. Saya
berlari turun mendahului gelindingan barang belanjaan untuk buru-buru
menahannya sebelum bablas masuk rel kereta.
Sampai peron lima
tujuan akhir stasiun Bogor, kami menanti kedatangan kereta sambil duduk di atas
kantong yang padat berisi kain. Begitu kereta tiba, kita masih santai-santai
saja karna mengira gerbong pertama khusus wanita akan tepat berhenti di depan
tempat kita menanti. Ternyata zonk!π Gerbong
pertama masih jauh dari jangkauan. Geragapanlah kita dan membopong itu
belanjaaan sambil sebisa mungkin berlari. Yang sering naik KRL pasti tahu kalau
durasi pintu kereta terbuka itu sama sekali tidak lama. Jadi mau berat mau
ringan kita tetap harus cepat-cepat naik, sebelum pintu tertutup rapat-rapat
dan terpaksa menunggu kedatangan kereta berikutnya yang tak tentu datang jam
berapa.
Tertatih-tatih kita sa’i.
Ikhtiar saya tambah dengan berteriak kepada satpam kereta agar melihat kesusah
payahan kami. Wkwk. “Pak tunggu Pak…!
Jangan tutup dulu Paaaak…”
Si Bapak hanya
tersenyum mengejek, sambil melambai-lambaikan tangan “Ayo-ayo cepet Buk!” Hmmm… masih single Pak belum jadi istri
apalagi Ibu-ibu. π€π€π€
Alhamdulillah kita
ngos-ngosan sudah di dalam gerbong kereta. Beberapa detik kemudian, “Jeglegeeeek…”
pintu tertutup. Jangan kira ya kalau sudah masuk kereta, perjuangan berhenti. Kereta
yang mampir di stasiun Tanah Abang pasti membawa penumpang yang ga seorang dua
orang, tapi ratusan. Dan you know lah
kalau tukang belanja adalah kaum hawa jadi gerbong khusus wanita mutlak penuh
sesak oleh Buibu dan jejal-jejal belanjaannya. Termasuk kita. Sambil
permisi-permisi kita pepetin belanjaan di pojok gerbong. Ditumpuk lalu saya duduk
di atasnya, sesekali gantian dengan teman saya sambil menahan tumpukan jangan
sampai ambruk dan kena penumpang lainnya.
Entah karena terlalu
capek atau memang dasarnya ngantukan, bisa-bisanya saya tidur dalam posisi
tidak aman seperti itu. Haha…Sampai-sampai tiba di stasiun Bogor pun tak
terasa.
Turunlah kita. Sekarang PR lagi untuk membawa belanjaan dari peron
sampai gate, dan dari gate sampai tempat parkir. Kami istirahat
sebentar, mengumpulkan tenaga kuli. Lalu, “Happ,
bismillah!” tergopoh-gopoh membopong belanjaan sampai gate. Kantong yang
dibawa teman saya lebih berat, sehingga kami mendorongnya berdua. Melewati gate, saya tarik saja belanjaan pakai
tali. Sayangnya, beberapa meter menuju tempat parkir jalannya tak halus mulus,
mengharuskan kami untuk membopongnya kembali.
Selesai. PR terakhir
adalah membawa belanjaan dari stasiun Bogor sampai kos naik motor matic. Satu kantong yang lebih kecil
dipaksakan duduk di depan pengemudi, sampai kaki teman saya harus ekeh-ekeh (apa ya bahawa Indonesianya?
wkwk). Satu kantong besar sisanya saya pangku di tengah. Tingginya sampai
sehidung, tebalnya sampai membuat teman saya duduk lebih maju dan saya duduk di
secuil jok, nyaris tidak dapat duduk. Semua mantan penumpang KRL memandang
kami. Ada yang sekilas, ada yang sampai jauh masih memandangi. Serasa Miss Indonesiaπ
And bismillah, ngeeeeeng… Macam seonggok anak gajah berjalan perlahan
menyisir jalan Bogor yang tak lekang oleh kemacetan. Pegal ndak? Ga usah nanya
sepertinya. Haha, menengok saja susah. Belum lagi nahan barang sambil ujung
jari mencoba berpegangan pundak kawan, rasanya mak nyuuus tenan. Entah berapa lama perjalanan penuh risiko itu
terjadi, ketika sampai kos sudah saja langsung “nggeblag” ga peduli apa-apa lagi. Hahahaha…π
π
Ya cuma mak kelutik
kisah meng-kuli-kan diri ala-ala
pedagang hijab newbie. Ga haram kok perempuan apalagi akhwat ngos-ngosan
bawa-bawa barang berat. Nggak haram juga susah payah naik motor bersama bejibun
dagangan umat. Asalkan tetap sesuai aturan syariat dan menjaga baik-baik aurat.
Justru semua itu akan membuat kita more strong
than before. Daripada cuma ngejogrog di kosan nunggu kiriman. Wanita jaman
naw kan hobinya cuma nunggu. Ya ga? Nunggu transferan, nunggu paket olshop,
nunggu dikodein, haha, dan perkara jodoh juga cuma nunggu-nunggu aja kan? Ga berani
lamar duluan. Kalo strong mah, sikat aja gaaaan…! ππWkwkwk….π
So, menurut saya bekal
untuk bisa mandiri itu harus kuat rohani dan jasmani. Kuat rohani ditandai oleh
keteguhan prinsip agamanya, luas pemahaman keislamannya, rajin ibadahnya, dan
baik akhlaknya. Sementara kuat jasmani dilihat dari mana? Dilihat dari
kekuatannya menjadi kuli, hahahaha. Ya intinya, wanita be strong dan sedikit berotot itu sah-sah aja. Iya loh, emangnya
jadi ibu rumah tangga itu tidak membutuhkan stamina prima? Bangun pagi, masak,
nyuci, gosok, nyapu, ngepel, beresin kamar anak, mandiin, belum lagi kalo
kerja, nanti pulang kerja masak lagi, ngejar-ngejar anak yang gamau mandi, trus
udah capek-capeknya masih harus nemenin anak belajar, udah ngantuk-ngantunya
masih harus dongengin panjang lebar. Gitu aja setiap hari. Kalo ga strong, ga
biasa lari sana-sini, ga biasa angkat-angkat barang, dan ga latihan banting
tulang sendiri, udah pasti ga kuat dan minta dicariin pembantu ke suami.
Balik lagi sih,
realistis aja. Hidup ga selalu semulus perosotan anak TK. Kita harus siap
dengan semua kemungkinan risiko yang ada. Jangan bisanya cuma pake gincu dan
jago gaya di depan kamera. Lah hayalah,
ga payu!πππ
Gitu
aja sih. Maaf ya, calon istrimu (mungkin sudah menjadi) kuli. Hahaha…
Bersambung, InsyaAllah…
Komentar
Posting Komentar