I’ve Found My Spirit Again

Usia 20an merupakan masa-masa dengan begitu banyak pilihan, terlebih pilihan mengenai masa depan. Jika pada saat SMA, menjelang lulus kita hanya dihadapkan pada pilihan melanjutkan ke perguruan tinggi atau kerja, berbeda dengan menjelang lulus kuliah. Pada fase tingkat akhir seperti ini, sangat banyak sekali pilihan yang harus dipertimbangkan terkait “mau ngapain” kita setelah menyandang gelar sarjana. Setelah lulus apakah langsung ingin melamar kerja, atau melanjukan S2, pilihan untuk magang terlebih dahulu, membantu dosen, membuka usaha, tak terkecuali pilihan untuk menggenapkan separuh agama. #eaaaa

Saya pun dihadapkan pada beragam pilihan tersebut. Jujur, meskipun saya sering menuliskan banyak mimpi dan keinginan, perkara saya ingin jadi apa justru masih menjadi pertimbangan. Dulu ketika awal-awal kuliah, saya bertekad harus lanjut S2 dan S3. Ketika tingkat dua dan tiga, saya mulai bermain di dunia bisnis dan ternyata begitu menyukainya, hingga tersbersit keinginan untuk menjadi wirausaha saja. Hal ini kemudian menguat seiring dengan semakin beratnya tugas perkuliahan dan tuntutan IPK yang tinggi (sebenarnya tidak ada tuntutan dari orangtua, tapi saya sendiri yang merasa malu kalau IPK sampai dibawah 3.5 wkwk). Terlebih lagi ketika saya berbisnis, saya merasakan bagaimana mendapat uang dari hasil keringat sendiri lalu menabungnya itu merupakan nikmat yang luar biasa. Melalui bisnis juga saya bertemu banyak orang, berinteraksi dengan berbagai jenis karakter. Apalagi bisnis saya di bidang hijab online, sudah pasti menemui customer yang seperti jalangkung, tiba-tiba datang mengusik da tanya-tanya, tapi setelahnya hilang entah kemana tak jadi order. Saya begitu menikmati profesi saya sebagai seorang wirausaha meskipun penghasilannya tak seberapa dan brand juga belum terkenal. Saya sudah cukup banyak mengambil pelajaran.

Ketika tingkat akhir, fokus mulai berubah. Kini penelitianlah yang menyita waktu saya. Meskipun bisnis tetap jalan, tentu tak semaksimal ketika skripsi belum menyerang. Alhamdulillah, atas rizki Allah, penelitian skripsi saya merupakan proyek dosen. Walaupun bisa dibilang, penelitian ini ‘nyebrang’ sangat jauh dari passion saya. Saya menyukai penelitian di lapang yang berinteraksi langsung dengan masyarakat terlebih ibu hamil dan anak-anak. Saya benar-benar mem-planning diri saya untuk tidak penelitian di laboratorium karena saya tahu saya agak lemah di analisis lab dan metabolisme. Dan dulu pun ketika pemilihan dosen dan topic penelitian, saya memilih yang berbau penelitian lapang. Bahkan saya sudah membuat proposal penelitian dan disetujui dosen saya yang juga sebetulnya mengampu penelitian-penelitian lapang, bukan lab.

Tapi beginilah cara Allah mentarqiyah hamba-Nya. Proposal peneltian saya sudah jadi, surat sudah segera diurus, dan saya sudah ijin segala macem untuk bisa penelitian lapang di Tuban walaupun sendirian. Suatu hari dosen pembimbing saya memanggil saya dan enawarkan sebuah penelitian proyek yang mana itu adalah penelitian pengembangan produk dan otomatis ada analisis kandungan gizi di laboratorium. Yang menjadikan saya berat untuk menolak tawaran beliau adalah, seluruh biaya penelitian akan dicover oleh dana dari lembaga pemberi hibah untuk penelitian dosen-dosen. Hal ini termasuk yang sangat menggiurkan sebab kalau biaya penelitian saya tanggung sendiri, berkisar antara 3-5juta an. Sementara saya kuliah masih menggunakan beasiswa dan rasa-rasanya malu kalau harus terus meminta orangtua. Pun bisnis yang saya jalankan omsetnya belum seberapa. Akhirnya, saya terimalah tawaran ‘sangat mendadak’ dari beliau.

Sekali lagi, beginilah cara Allah mentarqiyah hamba-Nya. Saya yang tadinya tidak bisa membuat cookies, kue, dan kawan-kawannya, harus bergelut dengan formula dan segala bentuk trial and error pembuatan cookies. Saya yang begitu lemah akan jenis-jenis metode analisis zat gizi, harus membuka buku-buku lama dan mempelajarinya kembali. Saya yang tidak suka bekerja sendiri, harus melatih diri mengerjakan segala sesuatunya berdasarkan waktu, tenaga, dan pikiran sendiri. Meskipun banyak sekali orang baik yang turut membantu. Kemudian saya harus mencari jurnal-jurnal ilmiah mengenai kandungan-kandungan dalam bahan-bahan pembuat cookies, dan masih banyak lagi hal-hal yang tidak saya inginkan untuk pelajari tapi Allah minta saya belajar.

Disini kemudian, sebab ‘terpaksa’ hanya fokus dalam akademik, membuat keinginan untuk melanjutkan studi menjadi bersemi kembali. Entah mengapa saya menangkap sinyal dari Allah bahwa inilah jawaban atas istikharah saya antara wirusaha atau akademisi. Jangan kira istikharah saya hanya soal laki-laki. Salah besar. Haha. Apalagi dulu ketika memilih penelitian lapang, saya tidak punya gambaran kalau melanjutkan S2 saya mengambil topic apa. Sementara setelah saya terpaksa berpindah haluan, berbagai pilihan study concern ketika S2 lebih banyak dan peluang terbuka lebar. Pun sebenarnya saat meminta pendapat Bapak, beliau menyarankan untuk kejar saja dulu S2, sebab kesempatannya hanya ada saat ini, sementara untuk menjadi wirausahawan bisa kapan saja.

I’ve found my spirit again. Benar-benar menjadikan azzam  saya semakin kuat, adalah baru beberapa jam yang lalu (sebelum saya ketiduran dan terbangun untuk makan sahur, hehe), saya menonton sebuah video siaran lokal London yang mengundang keluarga mbak Dewi Nur Aisyah, seorang tokoh ulama, dan seorang pemuda dari Timur Tengah. Kalau cerita tentang mbak Dewina, sedikit banyak saya tahu dan memang sangat menginspirasi. Tapi kalimat dari tokoh ulama setempat yang begitu menggugah hati saya. Kurang lebih, sepenangkap saya isinya begini,
“Tuntutlah ilmu setinggi-tingginya. Islam sama sekali tidak membedakan antara pria dan wanita dalam hal hak memperoleh ilmu. Tholabul ilmi minal Mahdi ilal lahdi. Betapa banyak wanita muslimah yang tidak berani melanjutkan pendidikannya karena berbagai alasan. Kita butuh wanita di bidang pendidikan. Kita butuh muslimah yang mampu memenangkan nobel. Ayo, ayo, tuntutlah ilmu setinggi-tingginya, tapi kamu juga harus berkeluarga dan mendidik anak-anak. InsyaAllaah…”

Ada sebuah kata yang sangat menarik perhatian saya, yaitu ‘nobel’. Ya, saya tak pernah berfikir tentang nobel sebelumnya. Bahkan saya tak pernah terfikir bahwa penting sekali ada peraih nobel yang berasal dari wanita muslimah. Agar apa? Tentu saja agar cahaya islam semakin berpendar di dunia. Agar dakwah-dakwah umat muslim semakin lebar jalannya di dunia. Agar umat Islam menjadi seperti umat yang terdahulu. Umat terbaik yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan jenius dan terkemuka. Yang bahkan konsep-konsep penemuannya dijadikan dasar bagi ilmuwan non-muslim untuk mengembangkan ilmunya. MasyaAllah…

Dan saya kembali teringat motivasi awal mengapa ingin melanjutkan studi hingga jenjang S3 adalah, untuk menghilangkan persepsi bahwa wanita ya sudah mengurus dapur dan segala urusan rumah tangga saja, tak perlu capek-capek kuliah. Wanita memang harus menurus rumah tangga, tapi wanita harus berpendidikan juga. Sebab bagaimana akan lahir anak-anak cerdas dan berakhlak mulia jika ibunya tak berilmu dan mudah menyerah dengan akademiknya? Bagaimana akan lahir pemimpin-pemimpin dunia jika ibunya tak pernah melihat dunia?

I’ve found my spirit again, rebuild my confidence again. 
Bismillah...

Komentar

Postingan Populer